REPUBLIKA.CO.ID, "Kami meninggalkan Myanmar karena kami
diperlakukan dengan kejam oleh militer. Umat Muslim di sana kalau tidak
dibunuh, mereka disiksa," ujar seorang pengungsi, Nur Alam, seperti
dikutip
BBC, beberapa waktu lalu.
Nur bersama 129
Muslim Rohingya begitu umat Islam yang tinggal di utara Arakan, Myanmar,
biasa disebut terpaksa harus meninggalkan tanah kelahirannya.
Ia
bersama kawan-kawannya nekat melarikan diri dari Myanmar dengan
menumpang perahu tradisional sepanjang 14 meter. Mereka berjejalan di
atas perahu kayu dengan bekal seadanya. Akibat mesin perahu yang mereka
tumpangi rusak, Muslim Rohingya pun harus rela terkatung-katung di
lautan yang ganas.
Hingga akhirnya, mereka ditemukan nelayan Aceh
dalam kondisi yang mengenaskan. Menurut Nur, mereka terombang-ambing
ombak di lautan ganas selama 20 hari. Kami ingin pergi ke Indonesia,
Malaysia, atau negara lain yang mau menerima kami, tutur Nur. Demi
menyelamatkan diri dan akidah, mereka rela kelaparan dan kehausan di
tengah lautan.
Begitulah potret buram kuam Muslim Rohingya yang
tinggal di bagian utara Arakan atau negara bagian Rakhine. Kawasan yang
dihuni umat Islam itu tercatat sebagai yang termiskin dan terisolasi
dari negara Myanmar atau Burma. Daerah itu berbatasan dengan Bangladesh.
Sejak
1982, Undang-Undang Kewarganegaraan Burma tak mengakui Muslim Rohingya
sebagai warga negara Myanmar. Pemerintah di negara itu hanya menganggap
mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh atau keturunannya.
Terjebak dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan seperti itu, kaum
Rohingya pun memilih untuk meninggalkan Myanmar.
Tak mudah bagi
mereka untuk melepaskan diri dari negara yang dikuasai Junta Militer
itu. Tak jarang mereka harus mengalami kekerasan dan penyiksaan oleh
pihak keamanan. Setelah mereka keluar dari negara tersebut, mereka tidak
diperkenankan untuk kembali.
Selain itu, umat muslim Rohingya
seperti terpenjara di tempat kelahirannya sendiri. Mereka tidak bisa
bebas bepergian ke mana pun. Meskipun hanya ingin ke kota tetangga saja,
pihak militer selalu meminta surat resmi. Saat ini, sekitar 200 ribu
Muslim Rohingnya terpaksa tinggal di kamp pengungsi seadanya di
Bangladesh.
Sebagian besar dari mereka yang tidak tinggal di
tempat pengungsian resmi memilih untuk pergi ke negara lain melalui
jalur laut, terutama melalui Laut Andaman. Kemudian, pihak Pemerintah
Thailand juga mengabarkan bahwa mereka telah menahan sebanyak 100 orang
Rohingya beberapa waktu yang lalu.
Pemerintah negeri Gajah Putih
itu menolak menerima mereka sebagai pengungsi. Untuk mengatasi masalah
ini, PBB sudah bergerak melalui salah satu organisasinya yang mengurusi
pengungsi, UNHCR.
***
Populasi
Muslim Rohingya di Myanmar tercatat sekitar 4,0 persen atau hanya
sekitar 1,7 juta jiwa dari total jumlah penduduk negara tersebut yang
mencapai 42,7 juta jiwa. Jumlah ini menurun drastis dari catatan pada
dokumen Images Asia: Report On The Situation For Muslims In Burma pada
Mei tahun 1997. Dalam laporan tersebut, jumlah umat Muslim di Burma
mendekati angka 7 juta jiwa.
Mereka kebanyakan datang dari India
pada masa kolonial Inggris di Myanmar. Sepeninggal Inggris, gerakan
antikolonialisasi di Burma berusaha menyingkirkan orang-orang dari etnis
India itu, termasuk mereka yang memeluk agama Islam. Bahkan, umat
Muslim di Burma sering sekali menjadi korban diskriminasi.
Pada
tahun 1978 dan 1991, pihak militer Burma meluncurkan operasi khusus
untuk melenyapkan pimpinan umat Islam di Arakan. Operasi tersebut memicu
terjadinya eksodus besar-besaran dari kaum Rohingya ke Bangladesh.
Dalam operasi khusus itu, militer tak segan-segan menggunakan kekerasan
yang cenderung melanggar hak asasi manusia.
Selain itu, State
Law and Order Restoration Council (SLORC) yang merupakan rezim baru di
Myanmar selalu berusaha untuk memicu adanya konflik rasial dan agama.
Tujuannya untuk memecah belah populasi sehingga rezim tersebut tetap
bisa menguasai ranah politik dan ekonomi.
Pada 1988, SLORC
memprovokasi terjadinya pergolakan anti-Muslim di Taunggyi dan Prome.
Lalu, pada Mei 1996, karya tulis bernada anti-Muslim yang diyakini
ditulis oleh SLORC tersebar di empat kota di negara bagian Shan. Hal
tersebut mengakibatkan terjadinya kekerasan terhadap kaum Muslim.
Kemudian,
pada September 1996, SLORC menghancurkan masjid berusia 600 tahun di
negara bagian Arakan dan menggunakan reruntuhannnya untuk mengaspal
jalan yang menghubungkan markas militer baru daerah tersebut. Sepanjang
Februari hingga Maret 1997, SLORC juga memprovokasi terjadinya gerakan
anti-Muslim di negara bagian Karen.
Sejumlah masjid dihancurkan,
Alquran dirobek dan dibakar. Umat Islam di negara bagian itu terpaksa
harus mengungsi. Burma Digest juga mencatat, pada tahun 2005, telah
muncul perintah bahwa anak-anak Muslim yang lahir di Sittwe, negara
bagian Rakhine (Arakan) tidak boleh mendapatkan akta kelahiran.
Hasilnya,
hingga saat ini banyak anak-anak yang tidak mempunyai akta lahir.
Selain itu, National Registration Cards (NRC) atau kartu penduduk di
negara Myanmar sudah tidak diberikan lagi kepada mereka yang memeluk
agama Islam.
***
Mereka yang sangat membutuhkan NRC harus rela mencantumkan agama Buddha pada kolom agama mereka.
Bahkan,
Pemerintah Myanmar sengaja membuat kartu penduduk khusus untuk umat
Muslim yang tujuannya untuk membedakan dengan kelas masyarakat yang
lain. Umat Muslim dijadikan warga negara kelas tiga. Umat Islam di
negera itu juga merasakan diskriminasi di bidang pekerjaan dan
pendidikan.
Umat Islam yang tidak mengganti agamanya tak akan
bisa mendapatkan akses untuk menjadi tentara ataupun pegawai negeri.
Tak hanya itu, istri mereka pun harus berpindah agama jika ingin
mendapat pekerjaan.
Pada Juni 2005, pemerintah memaksa seorang
guru Muslim menutup sekolah swastanya meskipun sekolah itu hanya
mengajarkan kurikulum standar, seperti halnya sekolah negeri, pemerintah
tetap menutup sekolah itu.
Sekolah swasta itu dituding mengajak
murid-muridnya untuk masuk Islam hanya karena sekolah itu menyediakan
pendidikan gratis. Selain itu, pemerintah juga pernah menangkap ulama
Muslim di Kota Dagon Selatan hanya karena membuka kursus Alquran bagi
anak-anak Muslim di rumahnya. Begitulah nasib Muslim Rohingya.
Nasib
buruk yang dialami Muslim Rohingya mulai mendapat perhatian dari
Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kantor berita Islam, IINA, pada 1
Juni 2011, melaporkan, Sekretariat Jenderal OKI yang bermarkas di Jeddah
telah menggelar sebuah pertemuan dengan para pemimpin senior Rohingya.
Tujuannya, agar Muslim Rohingya bisa hidup damai, sejahtera, dan
memiliki masa depan yang lebih baik.
Dalam pertemuan itu, para
pemimpin senior Rohingya bersepakat untuk bekerja sama dan bersatu di
bawah sebuah badan koordinasi. Lewat badan koordiansi itulah, OKI
mendukung perjuangan Muslim Rohingya untuk merebut dan mendapatkan
hak-haknya.
Pertemuan itu telah melahirkan Arakan Rohingya Union (ARU) atau
Persatuan Rohingya Arakan. Lewat organisasi itu, Muslim Rohingya akan
menempuh jalur politik untuk mengatasi masalah-masalah yang dialami
Muslim Rohingya. Semoga.